Birokratik Kartini Memanggil Ibunya, “Mbak Yu!

Bookmark and Share



1319593473536342311

(foto-foto Kartini)

Kartini menjerit. Ia tidak kuasa menolong. Ibu kandungnya sendiri harus berjalan merunduk dihadapannya, dan memanggil Kartini dengan “ndoro,” atau tuan putri. Kartini menjerit. Ia tidak kuasa menggugat adat itu untuk menolong ibu kandungnya.

Al kisah ini dimulai dari permintaan pemerintah Hindia Belanda untuk setiap Bupati harus memiliki sumber darah ningrat murni. Baik dari pihak lelaki ataupun istri sama-sama ada garis turun darah biru. Sementara Raden Mas Ario Sosroningrat tidak memenuhi sarat-sarat itu. Istri pertamanya, M.A. Ngasriah (ibu kandung Kartini) dari rakyat biasa. Ngasirah hanyalah seorang putri dari keluarga pesantren. Ibunya bernama Nyai Hj. Siti Aminah dan ayahnya KH. Madirono (Efatino Febriana, 2010). Latar belakang agamanya kuat. Akan tetapi latar itu belum cukup untuk mendampingi suami yang menjabat Bupati.


Peraturan itu membuat Raden Mas Ario Sosroningrat harus menikah lagi dengan wanita darah biru. Tahun 1875 ia menikah dengan wanita bangsawan yang bernama Raden Ayu Muryam (Imron Rosyadi, 2010) atau Raden Ayu Weorjan (Efatino Febriana, 2010). Ia keturunan raja-raja Madura.

Penerapan peraturan adat yang ditentukan oleh koloni semakin mempertajam diskriminasi trah antara darah biru dan rakyat biasa. Istri pertama Adipati Ario Sosroningrat yang bernama M.A. Ngasirah harus menjadi istri selir (garwo ampil), sedangkan Raden Ayu Muryam menjadi istri padmi (menjadi istri pertama) karena ada trah garis darah biru. Maka di dalam jabatan seremonial kerajaan istri padmi sang Bupati yang sah adalah Raden Ayu Muryam, sementara ibunda Kartini harus berada di keluar istana Jepara. Sebab ia menjadi istri selir. Aturan adat jawa, istri selir tidak berada di dalam istana keraton. Ibunda Kartini berada di luar keraton. Jika harus bertemu Kartini harus meminta izin. Jika berjumpa dengan Kartini, harus menunduk, hormat, dan memanggilnya “Ndoro.”

Ibu kandung Kartini semisal duduk di kursi keraton ada Kartini lewat, maka sang ibu harus turun dari kursi. Kemudian merunduk, menyembah, dan mempersilahkan Kartini untuk menduduki dudukannya. Ia harus mempersilahkan “Ndoronya” dengan kedua tangan tanpa melihat wajah Kartini, sebab melihat kedua mata “Ndoronya” merupakan pelanggaran adat.


Cengraman adat dan keningratan seperti ini sungguh bertentangan dengan nurani Kartini. Memang tidak ada siapapun yang berani menentang karena menjadi adat istiadat yang harus dijunjung tinggi. Waktu itu tidak ada keberanian moral untuk merubah adat. Agama manapun tidak ada yang setuju dengan cara-cara seperti ini. Kartini tidak berhak memanggil ibu kandungnya dengan sebutan “Ibu” melainkan dengan sebutan “Yu..,” (kakak). Hanya istri padmi dan putra-putrinya yang berhak memanggil “Ibu.” (Imron Rosyadi, 2010).

Kartini memanggil ibu kandungnya, “Yu” sementara kepada ibu tirinya dengan panggilan “Ibu.”


Adat seperti ini sudah berlaku ratusan tahun silam. Sewaktu Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabumi) menjadi raja Majapahit ( 1468 - 1478 M) memiliki istri padmi (permaisuri) sebanyak 3 wanita. Istri padmi pertama bernama Dewi Tapen, padmi kedua Ratu Andarwati dari negeri Campa tanah Hindu Barat, dan padmi ketiga Dyah Wandhansari. Ketiga-tiganya berdarah ningrat. Sementara istri selir Prabu Brawijaya V tidak terhitung lagi, dan dari masing-masing selir lahir anak-anak Prabu Brawijaya V sejumlah 117 anak (Ki Sabdacarakatama, 2010). Anak-anak Prabu Brawijaya V dario selir tidak berhak menduduki jabatan keraton. Tidak berhak memanggil “Ibu” tapi dengan sebutan “Yu.” Mereka sudah menjadi orang lain yang berada di luar istana (para selir) hanya karena kebanggaan trah orang tuanya agar masih mengalir kepada anak-anak dari garwo ampil.



Untuk meruntuhkan adat keningratan di tanah Jawa tidak semata-mata berpedoman pada harkat dan martabat kaum wanita, kemudian ide-ide yang dipikirkan itu benar, dan adat itu salah. Justru sebaliknya. Suara-suara Kartini dianggap sebagai penentangan. Kartini dianggap mencela adat dan agama. Pemikirannya sudah diwarnai oleh orang-orang Barat dan dianggap membelot dari adat orang Jawa.

Kartini marah. Kartini ingin menggugat semuanya, bahwa yang mereka tuduhkan tidak benar. Ratusan tahun masyarakat Jawa dihipnotis oleh peradaban yang tidak manusiawi. Orang-orang mengunggulkan keturunan atau trah keningratan orang tuanya merupakan perilaku yang tolol. Ada power kebanggaan natural yang sudah dipancarkan leluhur sebagai keluarga ningrat. Dan harus diakui sebagai warisan keluarga yang luhur dan agung, bukan dibanggakan untuk sebuah kepentingan individu atau publik. Selama ini yang dilihat Kartini, dari power trah itu selalu melahirkan pola-pola diskrimintif di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.

Dan menurut Kartini “darah biru” tidak semata-mata harus dekat dengan nilai keningratan. Nilai keningratan hanya terletak pada budi dan akal, dan belum tentu berkaitan dengan garis darah keturunan orang-orang.

Petikkan surat tertanggal 18 Agustus 1899 disampaikan kepada Stella, “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf arau Baron ? Tidak dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini.” (Efatino Febriana, 38 : 2010)

Kartini hanya menggelengkan kepala, bahwa semua itu tidak benar. Sementara semua orang membenarkannya. Ia masih tidak habis pikir tentang ibunya. Apakah ia anak yang picik, kerdil, dan tidak tahu diri jika menyuarakan ini kepada ibu kandungnya. Kartini hanya menerima jawaban, katanya pikiran Kartini sudah terpengaruh dengan konsep Barat. Ia bahkan membenci ibunya sendiri. Orang-orang yang diajak diskusi justru membenci Kartini karena Kartini sudah setengah Jawa dan Barat. Padahal Kartini menolak dikatakan terpengaruh pemikiran Barat. Sang ibupun hanya menarik napas panjang-panjang, bahwa putri satu-satunya sudah menjadi “orang lain.”

Seorang wanita yang melahirkan tidak berhak menerima panggilan “Ibu,” apakah ini letak moral ningrat untuk seorang ibu ! Dan ia harus memanggil ibu kepada wanita yang tidak pernah melahirkan dirinya! hanya karena ada trah ningrat, ia berhak dipanggil ibu oleh Kartini dan saudari-saudari tirinya. Apakah ini suatu kebenaran atau kesombongan ?

Mestinya, keningratan tidak terletak pada darah atau trah saja. Keningratan itu emas yang tersepuh pada budi dan pikiran. Tidak semua darah bangsawan menghasilkan garis darah yang baik. Apakah layak disebut bangsawan jika perilaku menjadi maling rakyat melalui pajak-pajak yang tinggi ? Perilaku hedonism demi menjaga kewibawaan trah keraton dengan menggadaikan lahan garapan (gaji pegawai) kepada Belanda atau orang Pacinan untuk mendapatkan uang tunai! Penderitaan trah itu semakin mendalam kalau hanya tersepuh di penampilan saja. Demikian juga pikiran. Haruskah seorang bangsawan masih disebut bangsawan kalau kesulitan memecahkan masalah rakyat yang sekian tahun menjadi sapi perah oleh penjajah Belanda. Rakyat dibodohi. Para pegawai pribumi diam demi keuntungan pribadi. Dan mereka lebih suka menjadi Belanda-belanda baru yang mengenakan blangkon.

Pada dasarnya darah bangsawan itu tidak layak mereka kenakan dalam ucap dan perilaku, sebab ucap dan perilakunya tidak sesuai dengan tingkat keningratan yang diwariskan para leluhurnya. Mestinya orang-orang berbudi dan berpikiran luas yang berhak memakai gelar ningrat. Itu yang dipikirkan Kartini di zamannya. Sementara orang hanya sibuk mencari keuntungan didepan “ndoro” tuan juragan Belanda, dan sedetikpun belum terlintas seperti yang dipikirkan Kartini.


Status ibu bukan dari darah ningrat, ia harus jauh dari anaknya, minimal menjadi buruh putrinya. Dari segi bahasa memanggil “Ndoro” kepada anaknya merupakan pelecehan HAM yang luar biasa besarnya. Seharusnya seorang ibu tetap menjadi ibu, dan layak dipanggil ibu. Ibu adalah orang yang melahirkan atas Irodah-Nya. Dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa itu tidak selayaknya dikalahkan oleh adat keraton yang berkaitan dengan darah bangsawan. Ini sudah masuk rana idioligis, dan harus dilawan.

artini meneriakkan suara hatinya tentang hakekat ibu dan wanita dewasa kepada Nyonya Abendanon tertanggal 2 September 1902.“Alangkah sombongnya kami menjadi-jadikan diri kami “Ibu” dan kerap kali juga “Ibu” kepada “anak-anak” yang lebih tua daripada kami. Tetapi apakah arti umur dalam hal ini ? Tiap-tiap manusia itu berhajatkan cinta, baik orang tua-tua yang sudah beruban, baikpun anak-anak.


Benarkan gerangan bahwa perempuan baru sempurna rasa sanubarinya, baru sempurna berkembang, hanya jika ia sudah kawin ? — karena kemuliaan perempuan yang semurninya dan seindahnya ialah menjadi ibu ? Tetapi, mestilah perempuan beranak dahulu, maka baru boleh menjadi “Ibu” menurut arti perkataan itu yang seharusnya, yakni mahluk yang semata-mata berhati kasih dan tahu berkorban ? Bila benar demikian, betapalah rendahnya pendapat dunia mengatakan, bahwa sebagian darah daging diri sendiri sajalah yang dapat dikasihi, serta dengan mengorbankan dan menyerahkan diri segenapnya ! Alangkah banyaknya ibu, yang namanya saja “ibu,” hanya karena mereka ada melahirkan anak ke dunia ini, tetapi lain daripada itu tiada patut memakai nama ibu itu. Seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan segala rasa cinta yang ada dalam hatinya, dengan segala asik yang ada padanya, perempuan itu “Ibu” lah dalam hati sanubarinya.

Bagi kami lebih tinggi ibu yang jadi ibu karena hati sanubarinya itu daripada ibu yang telah jadi ibu karena badannya.

Harapan dan doa kami dengan sangat, bila dikemudian hari besok kiranya cita-cita kami berwujud, kami mengajar di dalam sekolah, anak-anak kami janganlah saja menyebut kami “Ibu” di mulut saja, melainkan juga “Ibu” di mulut dan di hati.”

Ibu yang disebut Kartini berdasarkan hati sanubari adalah ibu kandungnya sendiri, sementara panggilan “ibu” karena badan adalah ibu tirinya. Ia dipanggil “Ibu” karena titel darah ningrat yang mengalir dari darah trah turun temurun. Alangkah picik dan sial dunia ini menyebut ibu terhadap orang-orang yang menyebut di mulut saja, sementara tidak memanggil “Ibu” dalam nuraninya. Mereka melakukan tingkah laku itu hanya menjunjung dan menghormat adat keraton tanpa memperhatikan panggilan hati sanubari. Panggilan itu hanya dimukut untuk seremonial adat belaka.

Kemegahan garis darah ningrat menjadi musabab buta pandangan mata hati terhadap orang lain. Kebiasaan dilayani, disembah, disanjung, mengrintal menjadi karakter “bangga” terhadap diri dan keturunannya. Keluarga keraton yang agamis lebih memahami gejala penyakit ini, sehingga tidak jarang tetua keraton mengungsikan putra mahkota ke peguron-peguron mencari ilmu kesakten dan berkumpul dengan rakyat kecil agar bisa memahami hidup, dan bisa memahami cara hidup mereka.


kebijakkan raja seperti itu yang dimaksud Kartini, bahwa keningaratan lebih layak tersepuhkan pada budi dan pikiran. Orang-orang bangsawan melestarikan trah ditempuh dengan cara belajar merakyat ini, ini yang paling bijaksana, agar warisan ningrat bisa diterima generasi penerus dengan utuh dan tidak minimbulkan fitnah bagi rakyatnya.

Fatih