Bahasa Melayu, Jejak Kebesaran Maritim Sumatera

Bookmark and Share


Bahasa Indonesia telah dicanangkan sebagai bahasa persatuan di Nusantara sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang telah distandarisasi dan dimodifikasi. Dari jaman dulu bahasa Melayu sudah menjadi bahasa yang umum di Nusantara. Bahasa Melayu merupakan bahasa resmi selain di Indonesia (sebagai bahasa Indonesia) juga di Malaysia (Bahasa Malaysia), Brunei (Melayu Brunei) dan Singapura (satu dari 4 bahasa resmi).






Gambar dari sini



Bahasa ini merupakan bahasa asli (bahasa daerah) dari sekitar 40 juta orang sepanjang selat Malaka, termasuk didalamnya sepanjang pantai semenanjung Malaysia, Thailand selatan, propinsi Riau dan pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, pantai barat Serawak di Kalimantan.



Bahasa Melayu diyakini berasal dari pulau Sumatera. Melayu sendiri diyakini berupakan sebuah kerajaan kuno di Jambi yang nantinya tergabung kedalam Sriwijaya. Kata Melayu kabarnya berasal dari kata Malayur (Tamil) yang berarti kota diatas bukit.



Sebuah prasasti yang ditemukan di Tepian sungai Tatang (anak sungai Musi) Sumatera selatan pada tahun 1920 dan kini tersimpan di Musem Nasional menjadi bukti dari teori ini. Prasasti Kedukan Bukit yang berhuruf Pallawa (huruf Tamil kuno) merupakan prasasti tertua yang menggunakan bahasa Melayu kuno. Prasasti ini bertahun 605 saka atau thn 683 dan mengandung banyak kosakata sansekerta.






Kerajaan Sriwijaya abad ke 10 - 11 dan rute perdagangan jalur sutera



Gambar dari sini



Teks kedukan bukit:
Swasti Shri Shakawarsatita 605 ekadashi

Shuklapaksa wulan Waishaka dapunta hiyang naik


Disambau mangalap siddhayatra di Saptami Shuklapaksa

Wulan Jyestha dapunta hiyang marlapas dari Minanga

Tamvan (Tamvar?) mamawa jang bala dua laksa dangan (…)

dua ratus tsyara disambau dangan jalan saribu

Tlu ratus sapuloh dua banyaknya. Datang di Matajap (Mataya?)

Sukhatshitta. Di pantshami shuklapaksa Wulan (…)

Laghu mudik datang marwuat manua (…)




Syriwijaya jayasiddhayatra subhiksa.

Terjemahan bahasa Indonesianya:
Selamat dan Bahagia. Dalam Syaka 605

Sebelas hari Bulan Waisyaka. Baginda naik kapal

Mencari untungnya pada tujuh hari

Bulan Jyestha, Baginda berlepas dari Muara

Tamvan membawa bala dua laksa dengan (…)


Dua ratus pawang di kapal dengan jalan seribu

Tiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di Matajap

Sukacita. Di lima hari Bulan (…)

Belayar mudik datang membuat benua (…)

Srivijaya kota yang jaya, bahagia dan makmur.

Jalur perdagangan yang melintas dari China hingga Eropa dikenal sebagai jalur Sutera. Selat Malaka merupakan jalur yang dilalui pedagang dari China ke India melalui laut. Dari India jalur ini terus menuju Yaman ke laut Merah hingga ke Mesir. Dari Alexandria barang dagangan dibawa melalui laut tengah ke Eropa.




Jalur perdagangan yang melewati Selat Malaka ini menimbulkan kekayaan bagi kota-kota pelabuhan disepanjang selat Malaka. Sriwijaya sejak abad ke 7 sudah merajai selat ini. Pada masa keemasannya diabad ke 9 - 11 batas kekuasaannya meliputi Semenanjung Malaysia, selatan Thailand, sebelah timur dataran genting Kra, Maluku, Sulawesi, Filipina hingga ke Indrapura (Kamboja) di sungai Mekong. Pengaruh Sriwijaya inilah yang dianggap sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan di pelabuhan-pelabuhan. Dominasi kerajaan maritim Sriwijaya ini diperkirakan berakhir pada abad ke 13.



Hingga abad ke 15 bahasa Melayu semakin menyebar bersamaan dengan menyebarnya Islam. Kerajaan Islam di Pasai dan Malaka menyebarkan bahasa dan kebudayaan Melayu dan mempopulerkan huruf arab berbahasa Melayu, huruf Jawi. Huruf ini terus digunakan hingga akhir abad ke 19 ketika huruf latin mulai menggantikannya. Bahasa Melayu pada saat itu sudah digunakan sebagai bahasa perdagangan di kesultanan Malaka.



Ketika merdeka pada tahun 1945, Indonesia merupakan negara pertama yang menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) sebagai bahasa resmi. Malaysia meresmikannya sebagai bahasa nasional yaitu bahasa Malaysia pada tahun 1957, sedangkan Brunei pada tahun 1959. Bahasa Indonesia banyak menyerap kata-kata dari bahasa Belanda, sedangkan bahasa Malaysia dari bahasa Inggris, walaupun bahasa Indonesia modern sekarang juga menyerap bahasa Inggris.
Mita