Tidak sebagaimana jalan setapak depan rumah kita, jalan hidup seseorang adalah salah satu jalan yang tak bisa dipastikan oleh mata-mata kita. Kita hanya bisa melihat apa yang telah dilalui dan sedang dijalani sekarang. Ujung jalan hidup yang kita titi masing-masing adalah mutlak pengetahuan Ilahi.
Demikian pula riwayat hidup seorang dai. Perjalanan yang ia tempuh dalam aktifitas dakwahnya tidak seperti hasil hitungan matematis. Ada pangkal, ada akhir. Ada titik terpuncak, ada pula titik terendahnya. Terkadang, ia akan memutar atau menikung ke arah lain dan meninggalkan jalan yang telah ditempuhnya dalam dakwah tanpa pernah terpikirkan sekali pun.
Seperti itulah riwayat seorang Ja’far Umar Thalib. Setelah memulai dan merintis dakwah Salafi di Indonesia, ia mesti pergi dan meninggalkan segala yang telah ia jalani selama bertahun-tahun. Publik sekarang hanya mengenalnya sebagai seorang mantan panglima Laskar Jihad.
Tulisan ini adalah bagian pertama dari sejumlah tulisan tentang riwayat Ja’far Umar Thalib. Melihat perjalanan dakwahnya di Indonesia, kita akan banyak menyimpulkan banyak hal, termasuk tentang perkembangan dakwah Salafi di Indonesia.
Dari Al-Irsyad Sampai LIPIA
Lahir pada 1961, Ja’far Umar Thalib adalah anak ketujuh dari pasangan Umar dan Badriyah Shaleh. Mereka dikenal sebagai orang-orang keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman.
Dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain, Ja’far adalah satu-satunya anak laki-laki Umar yang disekolahkan ke sekolah agama. Di bawah pengawasan ayahnya yang keras, Ja’far digembleng untuk mempelajari bahasa Arab sejak kecil. Dalam keadaan seperti itu, Ja’far berhasil menguasai bahasa Arab.
Pada masa remajanya, Ja’far mengenyam pendidikan di sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri di kota Malang, Jawa Timur. Dari sekolah ini, ayahnya banyak berharap agar Ja’far dapat menjadi guru agama di sekolah-sekolah umum nanti.
Pada waktu itu, Ja’far sendiri sudah mulai belajar berorganisasi. Salah satu organisasi yang diikutinya adalah Ikatan Pelajar Al-Irsyad. Organisasi siswa ini adalah organisasi yang berada di luar sekolahnya. Keterlibatannya di dalam organisasi ini dapat dimaklumi, mengingat latar belakang keluarganya yang masih memiliki hubungan intelektual dengan lingkungan Al-Irsyad.
Selepas pendidikan menengahnya, Ja’far meneruskan pendidikannya ke Fakultas Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah Malang. Ia, ternyata, kecewa dengan kualitas pendidikan di sana. Ia pun memutuskan keluar setelah satu tahun belajar. Atas saran ayahnya, Ja’far kemudian mendaftarkan diri di salah satu pesantren Persis di Bangil, dekat kota Surabaya, Jawa Timur.
Sebagai pelajar Persis, Ja’far dikenal sebagai seseorang yang memiliki perhatian besar terhadap Islam. Sebagian besar waktunya banyak dihabiskan di perpustakaan pesantren. Ia membaca dan menelaah koleksi-koleksi perpustakaan yang ada.
Dengan kebiasaan seperti itu, adalah wajar jika Ja’far diminta menjadi asisten Abdul Qadir Hassan, pimpinan pesantren tersebut, untuk membantunya menjawab berbagai pertanyaan agama yang masuk ke redaksi majalah Al-Muslimun. Majalah ini adalah organ penting Persis waktu itu.
Setelah Abdul Qadir meninggal dunia, Ja’far keluar dari pesantren tersebut. Ia keluar sekitar tahun 1985. Ja’far kemudian mendaftarkan diri ke LIPIA di Jakarta. Di lembaga ini, ia ingin memperdalam bahasa Arab.
Pada waktu itu pun, Ja’far aktif dalam Persatuan Pelajar Al-Irsyad. Bahkan, sempat dipilih untuk menjadi ketuanya. Dalam jabatan ini, Ja’far beberapa kali terlibat dalam kegiatan penentangan terhadap Pancasila dan sempat pula ditangkap aparat pemerintah.
Dari LIPIA Menuju Timur Tengah
Pendidikannya di LIPIA tidak berjalan mulus. Setelah berkonflik dengan salah seorang pengajar setempat, Muhammad Yasin Al-Khattib, Ja’far memutuskan untuk keluar dari LIPIA. Konflik tersebut dipicu oleh kebijakan Al-Khattib yang menugaskan para siswa untuk membaca kitab Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib karangan Abu Syuja’ Al-Asbahani (1053 – 1106) yang menjadi salah satu kitab fikih pegangan pesantren-pesantren tradisional NU.
Namun suratan takdir tertulis lain. Meski keluar dari LIPIA, Ja’far justru ditawari beasiswa untuk belajar di Pakistan oleh direktur LIPIA waktu itu, Abdul Aziz Abdillah Al-Amr. Pada 1986, Ja’far akhirnya menerima beasiswa itu dan belajar di Institut Islam Al-Maududi di Lahore, Pakistan.
Akan tetapi, setelah setahun belajar di Pakistan, Ja’far akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan barisan mujahidin di Afganistan. Semula, ia bergabung dengan faksi mujahidin pimpinan Gulbudin Hekmatyar. Faksi ini bernama Hizb-i Islami.
Dari faksi itu, Ja’far kemudian pergi dan bergabung dengan faksi mujahidin pimpinan Abdul Rasul Sayyaf yang bernama Jami’at Islami. Di faksi ini, ternyata, banyak pula tergabung orang-orang yang dikirim Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Di antara mereka, bahkan, terdapat lulusan-lulusan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Ja’far merasa tidak betah di faksi tersebut. Ia pun kemudian pindah ke faksi mujahidin pimpinan Jamilurrahman, seorang syaikh lulusan Ahl-i Hadith di Panjpir, Pakistan. Di faksi inilah, Ja’far tertarik pada sosok Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, seorang syaikh Salafi di Yaman. Lewat tulisan-tulisan dan kaset-kaset rekaman ceramahnya, Ja’far mulai mengenal dakwah Salafi waktu itu.
Ketertarikan itu mengantarkan Ja’far ke Timur Tengah. Di Arab Saudi, ia sempat bertemu dengan Abu Anas dan mempelajari kitab Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah karya Ibnu Abdil ‘Izz. Dari sana, Ja’far kemudian pergi ke Dammaj, Sha’dah, Yaman dan bertemu langsung dengan Syaikh Muqbil.
Pertemuan dengan Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
Pertemuan dengan syaikh yang dimaksud menjadi sebuah pertemuan yang mengesankan. Ja’far tinggal di tempat Syaikh Muqbil selama tiga bulan. Dalam waktu yang relatif singkat itu, Ja’far bisa memanfaatkan dirinya untuk mencari tahu tentang hakikat dakwah Salafi dari Syaikh Muqbil sekaligus mengenal lebih jauh tentang ulama-ulama Salafi yang masih ada pada waktu itu.
Yang patut diingat, dari Syaikh Muqbil itu juga, Ja’far mulai mengetahui isu Sururiyah yang telah berkembang di Timur Tengah. Di sana, Sururiyah menjadi salah satu faktor pemecah-belah komunitas Salafi setempat, termasuk mereka yang ada di Arab Saudi.
Dengan bekal seperti itu, Ja’far memiliki misi tersendiri untuk berdakwah di Indonesia. Bahkan, keinginan itu makin menguat, mengingat dakwah yang selama ini diakuinya sebagai dakwah Salafi di tengah lingkarannya di Indonesia, ternyata, masih tercampur dengan metode dakwah Hassan Al-Banna dan Sayyid Quthb.[]
–Rimbun Natamarga