Keberadaan pohon kina (sebagai obat malaria) di negeri ini memiliki riwayat yang cukup panjang. Tanaman kina yang pertama kali di Pulau Jawa berasal dari kiriman kebun percobaan di Leiden, Belanda. Pada tahun 1852, bibit pohon kina tersebut dibawa ke Pulau Jawa. Namun karena lama di perjalanan, bibit tersebut tiba dalam keadaan sudah layu. Seorang hortulanus (pengawas) Kebun Raya bernama Teysman berhasil mengambil steknya dan akhirnya berhasil tumbuh. Pohon itu merupakan pohon kina pertama yang tumbuh di luar Amerika Latin.(sebelumnya Inggris dan Perancis telah mencoba di negeri jajahan Afrika, namun karena iklimnya tidak cocok, maka tak sebatangpun bibit kina yang tumbuh).
Konon, pohon kina berasal dari sebuah negara di Amerika Latin bernama Peru. Alkisah, di suatu daerah, tinggallah seorang bangsawan kaya dan terpandang yang memiliki seorang anak gadis nan cantik jelita. Gadis itu bernama Comtessa Del Cinchon.
Suatu waktu, tanpa diketahui apa penyebabnya gadis berwajah cantik itu jatuh sakit, suhu badannya tinggi, namun ia menggigil kedinginan, sesekali mengigau dan mengeluarkan kata-kata yang tak jelas (ngeromet). Tentu saja orang tuanya bingung, lantas memutuskan memanggil dukun. Namun, dari beberapa dukun yang dipanggil, menyatakan bahwa Cinchon mengalami gangguan roh jahat, dan untuk mengusir roh tersebut diperlukan berbagai upaya melalui upacara ritual.Tapi upaya tersebut tidak mendatangkan hasil, bahkan keadaan semakin parah, badannya makin kurus, nafsu makan merosot, sehingga orang tuanya makin kuatir. Untunglah dalam keadaan kritis itu, didatangkanlah seorang dukun dari suku Indian. Oleh dukun tersebut dibacakan mantra-mantra dan diberi minuman yang terbuat dari kulit pohon tertentu.
Apa yang terjadi? Keadaan gadis Cinchon berangsur-angsur membaik, tapi ternyata bukan karena mantra-mantra sang dukun penyebabnya, melainkan berkat kulit pohon yang direbus menjadi minuman yang sangat pahit rasanya yang diminumkan ke gadis tersebut sehingga sembuh. Oleh karena itu, pohon yang kulitnya digunakan untuk mengobati demam tersebut kemudian dinamakan Cinchona.
Kina di Nusantara
Sejarah penanaman kina di Nusantara (Dataran Tinggi Bandung) tidak terlepas dari sejarah kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara. Kina memiliki peran amat penting bagi mereka yang bekerja di daerah baru beriklim tropis, dimana banyak di antara mereka terserang penyakit malaria akibat hutan-hutan dibabat untuk dijadikan perkebunan, sehingga nyamuk-nyamuk kehilangan habitatnya.
Di Nusantara budi daya tanaman kina dirintis oleh Frans Wilhem Junghuhn, seorang dokter dan peneliti berkebangsaan Jerman yang bertugas di Hindia Belanda. Kulit kina yang dijadikan bahan baku obat malaria, pertama kali didatangkan ke Eropa pada tahun 1632. Dalam kurun waktu setengah abad kemudian, perannya sebagai obat menjadi sangat penting.
Didorong oleh keuntungan dan manfaat yang akan diperoleh, Belanda bernafsu untuk membudidayakan tanaman tersebut di Nusantara, yang lantas menugaskan Justus Karl Hasskarl, mantan Direktur Kebun Raya Bogor dan sekaligus teman dekat Junghuhn untuk mendapatkannya. Hasskarl ditugaskan “mencuri” bibit tanaman tersebut dari negeri asalnya, dan rupanya ia berhasil menjalankan tugas dengan baik. Bibit dan 121 peti berisi bibit pohon kina jenis Caliyasa berhasil diselundupkan di bawah kawalan kapal perang Belanda.
Karena waktu tempuh yang lama, tidak semua bibit berhasil diselamatkan. Dari sebanyak 70 bibit yang masih hidup, kemudian ditanam di Cibodas, Puncak (Jawa Barat). Tugas membudidayakan tanaman tersebut diserahkan kepada Junghuhn pada tahun 1855.
Tetapi, karena lokasinya kurang tepat, Junghuhn kemudian memilih lereng-lereng barat Gunung Malabar di daerah Pangalengan, Bandung Selatan. pilihan tersebut terbukti sangat tepat karena suhu dan curah hujan di saerah tersebut sangat cocok untuk tanaman kina.
Pada tahun 1865, setahun setelah Junghuhn meninggal, budi daya tanaman kina berlangsung secara besar-besaran di daerah Bandung Utara. Ketika itu pemerintah Hindia Belanda mendatangkan sebanyak 500 gram benih kina dari jernis Ledgeriana yang diperoleh dari Bolivia. Satu gram berisi 2.800 biji.
*****
Budi daya tanama kina di Nusantara dengan berbagai tantangan, merupakan pengalaman tersendiri. Sebagai tanaman bukan asli Nusantara, budi daya kina membutuhkan perlakuan khusus, di samping iklim yang cocok dengan negeri asalnya. Setelah dilakukan beberapa kali eksperimen, kina dapat tumbuh dengan baik di Dataran Tinggi bandung, sehingga didirikanlah pabrik kina di kota Bandung, yang bernama ” Bandoengsche Kinine Fabriek N.V”, dimana pabrik kina merupakan industri paling tua di kota ini.
Pabrik kina tersebut yang kini menjadi PT (Pesero) Kimia Farma, didirikan tahun 1896, merupakan tonggak sejarah Dataran Tinggi Bandung di dunia Internasional sebagai pemasok kina paling besar di dunia. Pabrik hasil rancangan arsitek Gnelig Mijling A.W, dengan gaya arsitektur art deco itu, bertugas mengolah kulit kina yang didatangkan dari dareah pusat produksi di Pangalengan dan Lembang.
Bandoengsche Kimia Fabriek N.V., mencapai masa jayanya sampai menjelang Perang Dunia Kedua. Saat itu, Belanda betul-betul menikmati keuntungan besar dari perdagangan kina. Jika tahun 1875 produksi kina baru mencapai 22 ton, maka pada tahun 1895 sudah meningkat menjadi 1.000 ton. Produksi kulit kina terus meningkat sejalan dengan makin luasnya area perkebunan tersebut. Menjelang Perang Dunia Kedua, di Indonesia tercatat tidak kurang dari 107 unit kebun kina dengan luas sekitar 18.000 hektar, dengan produksi sekitar 11.000-12.000 ton kulit kering. Namun dari jumlah itu, yang diolah Bandoengsche Kinine Fabriek N.V. hanya sekitar 4.000 ton, sisanya sebesar 7.000-8.000 ton dikirim ke luar negeri. Sehingga pada abad ke 20, Pulau Jawa menjadi terkenal karena menghasilkan lebih dari 90 persen produksi kina dunia.
Namun, seiring dengan pecahnya PD II, kondisi perkebunan kina tidak bisa dipertahankan. Perang telah mengakibatkan kina Indonesia kehilangan pasar. Akibatnya, perkebunan kina menjadi terlantar, bahkan banyak diantaranya yang diganti dengan komoditi lain. Ketika pada tahun 1957-1958 terjadi pengambil-alihan perkebunan Belanda, luas areal tanaman kina hanya sekitar 50% dengan produksi kulit kina sekitar 36 % dibanding sebelum PD II.
Nasib perkebunan kina makin parah, ketika tahun 1965 terjadi penjarahan besar-besaran. Tanaman kina dibabat secara membabi buta, dikuliti lalu dijemur kemudian hasilnya dijual kepada penadah yang siap menampung. Sampai tahun 2005, areal perkebunan kina di Jawa barat tinggal 4.400 hektar, produksinya hanya sekitar 1.000 ton, jauh dibanding sebelum PD II yang mencapai 12.000 ton kulit kering. Sehingga Indonesia yang semula dikenal sebagai pengekspor kina terbesar, kini harus mengimpor kulit kina yang setiap tahunnya mencapai 3.000-3.500 ton.
Di Jawa barat, daerah perkebunan kina di Pangalengan terletak di Cikembang, Purbasari, dan Malabar. Di daerah Ciwidey, terdapat di Rancabolang dan Rancabali. Sebagian lagi terdapat di dareah Lembang dan Subang. Sebagian besar (90%), tanaman kina milik perkebunan negara, sisanya dikelola oleh rakyat dan perkebunan swasta.
Data terakhir (Dinas Perkebunan Jabar) menunjukkan bahwa produksi kina makin menurun. Sejak tahun 2003-2005, produksi kina Jawa barat terus merosot rata-rata 13,8%/tahun. Tahun 2003, tercatat 1.116,60 ton, tahun 2004 sebesar 1.066,03 ton, dan tahun 2005 hanya 819,67 ton.